Sabtu, 15 Desember 2012

Etik Lingkungan


Kasus Etika Lingkungan

Kasus  :
Pembakaran Limbah Medis RSUD Bangli

Dunia medis biasanya identik dengan lingkungan yang bersih dan jauh dari pencemaran  atau polusi. Tetapi bagaimana apabila pencemaran tersebut justru dilakukan sendiri oleh pihak medis. Kasus inilah yang terjadi di daerah bangli, dimana pembakaran limbah medis yang dilakukan oleh rumah sakit umum daerah bangli berdampak buruk terhadap masyarakat sekitar. Kepulan asap hitam dan disusul dengan  debu yang berjatuhan di areal pemukiman  membuat masyarakat terkadang mengunci putra-putri mereka di kamar agar tidak menghirup asap atau pun debu yang berjatuhan akibat adanya pembakaran limbah. (www.balipost.co.id, 04 juli 2012).
Mesin incinerator yang digunakan untuk melakukan pembakaran jaraknya juga sangat dekat dengan pemukiman warga sekitar 3 meter dan bau yang ditimbulkan oleh asap dan debu hasil pembakaran sangatlah menyengat sehingga warga tidak dapat melakukan aktivitas di pekarangan/halaman rumah serta tidak jarang pula debu-debu hasil pembakaran yang berupa gumpalan-gumpalan hitam mengotori lingkungan termasuk jemuran warga.








Pembahasan :
            Dalam kasus pembakaran limbah, RSUD Bangli telah melakukan pelanggaran etika terhadap lingkungan. Dimana mereka melakukan tindakan yang merugikan lingkungan atau pencemaran terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh kepulan asap dari hasil pembakaran limbah atau sering disebut pencemaran udara. Padahal pihak rumah sakit sendiri seharusnya mengetahui dampak-dampak yang ditimbulkan oleh limbah medis. Limbah medis termasuk salah satu limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).  Menurut UU No. 32 Tahun 2009 pada Bab I, Limbah Bahan berbahaya dan beracun adalah zat, energy, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta  kelangsungan hidup  manusia dan makhluk lain. Dampak yang ditimbulkan oleh polusi udara akibat limbah B3 dapat berakibat fatal bagi kesehatan maupun tanaman. Pencemaran udara terhadap tingkat kesehatan dapat mengakibatkan terganggunya saluran pernafasan ataupun iritasi terhadap bagian tubuh, hal tersebut yang menjadi kekhawatiran atau teror bagi warga bangli apabila kegiatan tersebut terus berlangsung tanpa adanya perbaikan dari pihak rumah sakit, karena sampai kasus ini dilaporkan belum ada tanda-tanda atau itikad baik dari pihak rumah sakit untuk menyelesaikan permasalahan ini.
            Dalam hal ini pihak rumah sakit tidak menjalankan AMDAL (Analisis Mengnenai dampak lingkungan). Terdapat beberapa kriteria dalam analisis dampak lingkungan ( AMDAL ) diantaranya dalam UU No. 32 Tahun 2009  :
a.       Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan.
b.      Luas wilayah penyebaran dampak.
c.       Intensitas dan lamanya dampak tersebut berlangsung.
Dapat dilihat dari penjelasan AMDAL diatas, pihak rumah sakit mengabaikan dampak-dampak yang terjadi dari pembakaran limbah rumah sakit sehingga mengakibatkan adanya pihak yang dirugikan oleh kegiatan pembakaran limbah yakni masyarakat sekitar. Luas penyebaran dampak dari pembakaran juga tidak diperhitungkan dengan baik dimana pihak rumah sakit meletakkan mesin pembakar yang jaraknya sangat dekat dengan pemukiman. Dari pihak rumah sakit juga tidak merespon pengaduan yang dilakukan masyarakat terhadap pencemaran pembakaran limbah. Hal itu juga ditegaskan salah seorang warga yang juga mantan pejabat dinas PU Bangli, bernama Sang Nyoman Yasa yang mengatakan “ Pencemaran lingkungan yang terjadi sudah sangat parah, kami telah menjadi korban. Sementara mereka tidak peduli dengan kami”. Hal tersebut membuat pencemaran limbah medis yang terjadi di Bangli semakin berlarut-larut.
Apabila dilihat dari pendekatan-pendekatan yang digunakan sebagai dasar pemikiran untuk menjalankan tanggungjawab lingkungan hidup, pihak rumah sakit tidak melaksanakan pemikiran-pemikiran tersebut, yang diantaranya:
Ø  Teori hak atas lingkungan. Menurut Blackstone, setiap manusia berhak atas lingkungan bekualitas yang memungkinkan dia untuk hidup dengan baik (sutrisna:2010). Akibat dari limbah medis tersebut warga sekitar rumah sakit sudah kehilangan hak-nya atas lingkungan yang sehat dan bebas dari polusi, karena setiap kegiatan pembakaran limbah mereka harus waspada akan asap hitam yang diakibtkan oleh pembakaran limbah. Hal ini tentu saja sangat membuat warga sekitar merasa sangat tidak nyaman.
Ø   Teori Deontology. Teori ini menilai tindakan baik atau buruknya berdasarkan aturan-aturan, prosedur dan kewajiban (sutrisna:2010). Tentunya pihak rumah sakit sudah melanggar teori ini, dimana pihak rumah sakit tidak menjalankan kegiatannya sebagaimana mestinya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak lain
Ø  Utilitarianisme. Pendekatan utilitarian menyatakan bahwa seseorang perlu berusaha menghindari kerusakan lingkungan karena dia juga tidak ingin merugikan kesejahteraan masyarakat (sutrisna:2010), tetapi justru pihak rumah sakit memberikan dampak yang buruk bagi masyarakat dengan asap hasil dari pembakaran sampah medis tersebut.
Ø  Keadilan. Lingkungan yang bersih dan nyaman merupakan kelangkaan oleh karena itu, harus dibagi secara adil agar nantinya dapat dinikmati oleh generasi mendatang.(sutrisna:2010)  
Pendekatan-pendekatan diatas dikutip dari:Dewi Sutrisna.Etika Bisnis.2010.Udayana University Press.Denpasar
Peran pemerintah disini sangat diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Pemerintah tidak bisa hanya berdiam diri saja atau pun hanya mengandalkan atas peraturan yang telah berlaku tetapi pemerintah juga harus turun secara langsung baik sebagai pihak ketiga atau pihak yang memfasilitasi antara masyarakat sekitar dengan pihak rumah sakit, karena peraturan atau UU yang di buat oleh pemerintah belum tentu berjalan secara efisien susuai dengan isi peraturan atau Undang-undang secara tertulis, dimana terkadang terdapat perbedaan antara keadaan di lapangan yang sesungguhnya dengan keadaan dalam peraturan yang tertulis. Tidak hanya pemerintah yang berperan dalam penyelesaian kasus ini, kesadaran dari pihak rumah sakit juga sangat diperlukan. Sebaiknya pihak rumah sakit memindahkan letak mesin incinerator sehingga dapat meminimalkan dampak yang terjadi akibat pencemaran dan pihak rumah sakit juga dapat bekerja sama dengan badan lingkungan hidup dalam mengelola maupun mengawasi sehingga mengurangi dampak terjadinya pencemaraan.

Analisis Etika Bisnis Terhadap Kasus Kecurangan Perusahaan

http://4.bp.blogspot.com/-iG3ETpWQse4/TrvuGiUEctI/AAAAAAAAAME/xR4-xm-lNlg/s320/satu1.jpg

Kasus: 

Warga Keluhkan Asap Limbah Kawat

CIKARANG, KOMPAS.com - Warga Kampung Kali Jeruk, Desa Kali Jaya, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, mengeluhkan pengolahan limbah sampah kawat dengan cara dibakar karena mengganggu kesehatan penduduk setempat.
     
Warsono (39) warga Kampung Kali Jeruk, Minggu (25/4/2010), mengaku sempat mengalami sesak nafas dan kepala pusing saat menghirup asap berwarna hitam pekat saat aktivitas pembakaran limbah dilakukan pemiliknya pada malam malam hari. "Asapnya hitam pekat dan mengeluarkan bau yang sangat menyengat hidung. Saya dan beberapa warga lainnya yang berdekatan dengan lokasi pembakaran limbah sering mengalami sesak nafas dan kepala pusing," ujarnya.
    
Warsono dan beberapa warga lain tidak berani menegur pengelola limbah dengan alasan takut. Namun, beberapa warga pernah melaporkan persoalan tersebut kepada kepala desa (kades) setempat. "Tapi hingga saat ini tidak ada tindakan apa pun dari pejabat desa," katanya.
     
Hal senada juga diungkapkan Siti Fajriyah (30) warga setempat. Menurutnya, pembakaran limbah kawat yang meresahkan warga itu sudah berlangsung sejak pertengahan tahun 2007 silam dan hingga kini belum ada tindakan dari Dinas Lingkungan Hidup (LH) Kabupaten Bekasi."Saat ini warga sangat berharap dinas terkait agar secepatnya turun ke lapangan untuk meninjau lokasi pembakaran itu. Sebab kami menduga pengelolanya tidak memiliki izin daur ulang limbah," katanya.
    
Secara terpisah, Kepala Seksi (Kasi) Pemeliharaan Lingkungan Dinas LH Kabupaten Bekasi, Nanang Hadi, mengaku baru mendengar adanya keluhan tersebut. "Bila memang hasil pembakarannya melebihi ambang batas kewajaran, tentu akan segera kami tindak. Namun, sebelumnya perlu dilakukan pengkajian terlebih dahulu," katanya.
    
Menurut Nanang, aktivitas serupa mulai marak terjadi di wilayah setempat. Kegiatan tersebut dilakukan guna mengurai kandungan lain selain besi yang menempel pada kawat dengan cara dibakar.  "Biasanya, dalam limbah kawat masih suka menempel busa, plastik, karet dan benda sejenisnya yang sulit dibersihkan. Sehingga agar tidak menguras stamina, pengusaha limbah mengambil cara mudah dengan dibakar," katanya.
    
Bila diketahui pengelolaan limbah tersebut ilegal, kata dia, pihaknya akan menjatuhkan sanksi mulai dari peneguran, hingga pencabutan izin usaha.  "Patut diduga kegiatan pembakaran tersebut tidak didukung dengan sistem penetralisir udara seperti cerobong asap dan sejenisnya," ujar Nanang.

Analisis:

Dari kasus diatas dapat dilihat tindakan kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan, membuang limbah pabrik yang dibakar jika dilihat dari etika bisnis merupakan hal yang salah dan merugikan banyak pihak.
Secara langsung pihak masyarakat sekitar di Kampung Kali Jeruk, Desa Kali Jaya, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat merasa terganggu dan dirugikan dengan pengelolaan limbah yang dilakukan manajemen pabrik. Mereka mengaku sempat mengalami sesak nafas dan kepala pusing saat menghirup asap berwarna hitam pekat saat aktivitas pembakaran limbah dilakukan pemiliknya pada malam malam hari.
Sebaiknya, perusahaan menggunakan system penetralisir udara seperti cerobong asap dan sejenisnya untuk memiminimalisir polusi limbah yang menggangu masyarakat sekitar. Atau pihak manajemen perusahaan sebaiknya membuang limbah di kawasan yang tidak ada penduduk sehingga asapnya tidak menggangu masyarakat sekitar.

Sumber: