KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA SESUDAH KRISIS 1997
Pemulihan
Ekonomi Melalui Kebijakan Moneter
Kestabilan harga dan nilai tukar merupakan prasyarat bagi
pemulihan ekonomi karena tanpa itu aktivitas ekonomi masyarakat, sektor usaha,
dan sektor perbankan akan terhambat. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan
kiranya jika fokus utama kebijakan moneter Bank Indonesia selama krisis ekonomi
ini adalah mencapai dan memelihara kestabilan harga dan nilai tukar rupiah.
Apalagi Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia secara jelas menyebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang di dalamnya mengandung pengertian
kestabilan harga dan kestabilan nilai tukar rupiah.
Untuk mencapai tujuan di atas, Bank Indonesia hingga saat
ini masih menerapkan kerangka kebijakan moneter yang didasarkan pada
pengendalian jumlah uang beredar. Di dalam kerangka tersebut Bank Indonesia
berupaya mengendalikan uang primer sebagai sasaran operasional kebijakan
moneter.
Dengan jumlah uang
primer yang terkendali maka perkembangan jumlah uang beredar, yaitu M1 dan M2,
diharapkan juga ikut terkendali. Selanjutnya, dengan jumlah uang beredar yang
terkendali diharapkan permintaan agregat akan barang dan jasa selalu bergerak
dalam jumlah yang seimbang dengan kemampuan produksi nasional sehingga
harga-harga dan nilai tukar dapat bergerak stabil.
Dengan menggunakan kerangka kebijakan moneter seperti
telah diuraikan di atas, Bank Indonesia pada periode awal krisis ekonomi,
terutama selama tahun 1998, menerapkan kebijakan moneter ketat untuk
mengembalikan stabilitas moneter. Kebijakan moneter ketat tersebut tercermin
pada pertumbuhan tahunan sasaran indikatif uang beredar yang terus ditekan dari
level tertinggi 30,13% pada tahun 2000 menjadi 9,58% pada tahun 2001. Kebijakan
moneter ketat terpaksa dilakukan karena dalam periode itu ekspektasi inflasi di
tengah masyarakat sangat tinggi dan jumlah uang beredar meningkat sangat pesat.
Di tengah tingginya ekspektasi inflasi dan tingkat risiko
memegang rupiah, upaya memperlambat laju pertumbuhan uang beredar telah
mendorong kenaikan suku bunga domestik secara tajam. Suku bunga yang tinggi
diperlukan agar masyarakat mau memegang rupiah dan tidak membelanjakannya untuk
hal-hal yang tidak mendesak serta tidak menggunakannya untuk membeli valuta
asing..
Suku bunga SBI bulan yang selama ini menjadi patokan (benchmark)
bagi bank-bank terus menurun dari level tertinggi 35,52% pada tahun 1998
menjadi 7,43% pada akhir April 2004.
Penurunan suku bunga SBI yang cukup tajam itu diikuti
oleh suku bunga pasar uang antarbank (PUAB) dan simpanan perbankan dengan laju
penurunan yang hampir sama Suku bunga kredit (kredit modal kerja) pun mengalami
penurunan meskipun tidak secepat dan sebesar penurunan suku bunga simpanan perbankan.
Penurunan laju inflasi, penguatan nilai tukar rupiah, dan
penurunan suku bunga membentuk suatu lingkaran yang saling memperkuat sehingga
membuka peluang bagi pemulihan ekonomi.
Kebijakan
Moneter Bank Indonesia Pasca UU No. 23/99
Dari sisi pengelolaan moneter, krisis ekonomi
sesungguhnya telah melahirkan suatu pemikiran ulang bagi peran Bank Indonesia yang
seharusnya dalam perekonomian, dan sekaligus perannya dalam institusi
kenegaraan di Republik ini. Pengalaman tersebut telah memberikan suatu pelajaran
yang sangat berharga bahwa bank sentral dengan segala keterbatasan yang
dimilikinya harus kembali kepada fungsi utamanya sebagai lembaga yang
bertanggung jawab terhadap kestabilan nilai mata uang yang dikeluarkannya. Dari
pengalaman itu pula yang kemudian melahirkan persetujuan DPR atas Undang Undang
No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mengamanatkan suatu perubahan
yang sangat mendasar dalam hal pengelolaan moneter. Dalam UU tersebut,
pemikiran ulang ini diformulasikan dalam suatu tujuan kebijakan moneter yang
jauh lebih fokus dibandingkan dengan UU sebelumnya, yaitu “mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah”.
Pasal 7 dalam UU
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia mengamanatkan tujuan mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah sebagai sasaran kebijakan moneter.
Bagi masyarakat secara umum, kestabilan harga merupakan
sesuatu yang sangat penting khususnya bagi golongan masyarakat berpendapatan
tetap. Inflasi yang tinggi seringkali dikategorikan sebagai musuh masyarakat
nomor satu karena dapat menggerogoti daya beli dari pendapatan yang diperoleh
masyarakat. Bagi kalangan dunia usaha, inflasi yang tinggi akan sangat
menyulitkan kalkulasi perencanaan bisnis dan dengan demikian akan berdampak
buruk bagi aktivitas perekonomian dalam jangka panjang. Bagi banyak ekonom,
telah terbentuk semacam kesepakatan bahwa inflasi yang tinggi akan berdampak
buruk bagi proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar